ASWAJA KAYONG

Mari Berislam sesua paham ASwAJA Annahdliyyah.

ASWAJA DAMAI

Aswaja Hadir Dengan Penuh Damai

RISALAH NU

Risalah Aswaja NU.

ASWAJA KAYONG

Aswaja yang Kalem

ASWAJAKU

Tetap Aswaja NU sampai Kapanpun

Rabu, 05 Desember 2018

Maulid Nabi Dan esensi memperingatinya


Hari Selasa 20 November 2018, bertepatan pada 12 Rabiulawal 1440 H, umat Islam di seluruh dunia kedatangan hari istimewa. Bukan sembarang hari, mengingat pada hari tersebut–sekitar lima belas abad yang lalu, lahir sesosok manusia yang paling mulia. Sosok penyampai risalah, sekaligus sosok yang dijadikan suri tauladan bagi segenap insan. Beliau adalah Nabi Muhammad Saw.

Sebagai hari lahirnya utusan Allah yang membawa panji keselamatan dan rahmat seluruh alam, sudah selayaknya hari tersebut diperingati dengan meriah dan penuh suka-cita. Di kota Tarim, provinsi Hadhramaut, Yaman, kedatangan hari istimewa ini tidaklah cukup diperingati hanya dalam perayaan satu-dua hari saja. Akan tetapi, sebulan utuh orang-orang akan disibukkan dengan rangkaian acara pembacaan Maulid yang berisi rangkuman sejarah dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw di berbagai tempat. Sebut saja pembacaan Maulid Harafisy di Masjid Baalawi pada malam 12 Rabiulawal, juga pembacaan Maulid Simthuduror di masjid kuno Assegaf pada Kamis terakhir bulan Rabiulawal. Hampir seluruh masyarakat sekitar, termasuk pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di kota tersebut, berbondong-bondong datang seolah melaksanakan shalat Idul Fitri ataupun Idul Adha.

Di Indonesia, kedatangan hari istimewa tersebut juga tidak kalah disambut dengan meriah. Hanya saja, bila penyambutan di kota Tarim lebih kental dengan nuansa keseragaman karena sudah menjadi adat dan kebiasaan seluruh lapisan masyarakat, di Indonesia, setiap masyarakat punya caranya tersendiri dalam menyambut dan mengekspresikan suka-cita mereka. Pembacaan maulid di masjid-masjid–seperti halnya di kota Tarim, nyatanya juga dilaksanakan oleh sebagian masyarakat. Namun, bagi mereka yang tidak melakukan, pada hakikatnya mereka tetap memperingati hari istimewa tersebut lewat pengangkatan Sirah Nabi Muhammad sebagai topik hangat dalam kajian keislaman maupun perbincangan majelis mereka. Belum lagi kehadiran bazar, grebeg Maulid dan lain sebagainya, masyarakat Indonesia sejak dahulu memang sudah dikenal sebagai masyarakat yang kreatif dalam mengadakan peringatan atas momentum tertentu.

Sudah selayaknya memang, hari kelahiran Muhammad Saw dirayakan dengan meriah oleh seluruh umat Muslim sedunia. Hal ini dapat dimengerti lewat kedudukan yang diberikan oleh Allah kepadanya. "Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam," demikian arti salah satu firman Allah dalam Al-Qur'an. Bahkan dalam sebuah hadits qudsi, dikatakan bahwa Allah berfirman,“Kalau bukan karena engkau (Muhammad), maka alam semesta ini tidaklah diciptakan."

Tingginya kedudukan Nabi Muhammad juga dapat dilihat dalam kisah yang dicerikatan oleh Al-Qur'an. Dalam surat Al Imran ayat 81, Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, 'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu,  niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah  berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka pun menjawab, 'Kami mengakui'". Senada dengan firman tersebut, Nabi Muhammad dalam riwayat Imam Ahmad bersabda, "Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya, seandainya Musa As hidup, dia tidak dapat mengelak dan mengikutiku."

Kedudukan tinggi Nabi Muhammad Saw ini sendiri, tak lepas dari kemuliaan akhlak dan budi pekerti yang ia miliki. Allah memujinya dalam surat Al-Qalam ayat 4, "Sesungguhnya engkau (Muhammad), berada di atas akhlak yang agung". Adapun dalam rangkuman sejarah, diceritakan bahwa Nabi Muhammad setiap hari selalu memberi makan dan menyuapi seorang Yahudi buta di pojok pasar Madinah. Padahal, Yahudi buta tersebut selalu mencaci-makinya saat disuapi. Barulah setelah Nabi Muhammad wafat, Yahudi tersebut mengetahui bahwa orang yang telah ia caci maki adalah Muhammad, orang berakhlak mulia yang peduli kepadanya.

Dalam konteks abad modern, Mahatma Ghandi yang beragama Hindu,memberikan pengakuan terhadap keluhuran budi Nabi Muhammad Saw. Dalam sambutannya untuk buku Muhammad Prophet for our Timeyang ditulis oleh Karen Amstrong, ia menyatakan, “Saya takjub, manusia seperti apa yang hingga hari ini menawan hati jutaan manusia. Saya menjadi lebih dari sekedar yakin, bahwa bukan pedang yang membuat Islam jaya. Kebersahajaan, pelenyapan ego Sang Nabi, tekad kuat untuk memenuhi janjinya, pelayanan yang amat mendalam kepada sahabat dan pengikutnya, keberanian yang tak mengenal rasa takut, keyakinan kepada Tuhan dan misinya, semua inilah yang membuat Islam berjaya dan mampu menyingkirkan segala penghalang."

Berkaca pada hal tersebut, terlebih bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw di bulan ini, sudah selayaknya bagi kita, pemeluk agama Islam untuk memperbaharui kembali semangat dalam mencintai manusia agung ini. Boleh saja, cinta tersebut diekspresikan dengan beragam cara seperti pembacaan kitab Maulid dan ragam peringatan lain. Namun, apa pun bentuknya, yang menjadi esensi terpenting dalam peringatan hari Maulid sesungguhnya adalah pelajaran apa yang dapat kita ambil dari sejarah kehidupan Sang Utusan.

Fiqh Sirah Nabawi, buku karya dr Muhammad Said Ramadhan Buthi dan Fiqh Sirh karya Syaikh Muhammad Alghozali, boleh dikedepankan ketika membicarakan konteks ini. Kedua ulama ini tidak hanya sebatas menulis sejarah kehidupan Nabi Muhammad saja–seperti dalam kitab-kitab Maulid konvesional, namun keduanya juga berusaha menyimpulkan pembelajaran apa yang bisa diambil dalam setiap kejadian di masa hidup Rasul. Lebih lanjut, bahkan dr Buthi membuat pembelajaran tersebut menjadi sub bab khusus pada setiap bab dengan menamainya Alibrah wal idzat. Hal ini dirasa lebih urgen, karena selain mengetahui realitas sejarah dan mengenal pribadi Nabi Muhammad lebih dekat, mengambil pelajaran dari momentum sejarah kehidupan Rasul, kemudian menerapkan nilai-nilainya bukan tidak mungkin bisa menjadi solusi kita dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di masa kini.

Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir universitas Al-Ahqaff, Hadhramaut, Yaman.
Share:

Kiai Wahab Pekenalkan Muhamadiyah di Jombang


Menceritakan ulama-ulama zaman dulu memang sangat menarik, apalagi ketika menceritakan hubungan antar ulama yang berbeda pendapat.  Dari hubungan tersebut banyak hikmah yang dapat kita ambil, di ataranya adalah bahwa perbedaan tidaklah harus berujung dengan saling membenci. 

Siapa sangka yang memperkenalkan Muhammadiyah di wilayah Jombang yang merupakan basis wilayah NU adalah juga salah satu tokoh pendiri NU, yakni KH Wahab Hasbullah.

Kisah ini disampaikan oleh Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Muhammad Zein, sewaktu ia berkunjung di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. 

Dalam forum diskusi yang diselenggarakan Islam Nusantara Center di kediaman Kepala Badan Litbang & Diklat Kemenag RI H Abdurrahman Mas’ud menceritakan bahwa ada sebuah buku yang memuat cerita-cerita tentang pendirian pesantren. Ia menyebutkan ada sekitar 183 cerita dalam buku tersebut.

“Salah satu cerita menarik yang dikisahkan cucunya Mbah Wahab dari buku tersebut adalah bahwa yang memperkenalkan Muhammadiyah di Jombang pertama kali adalah Mbah Wahab,” terangnya di Jakarta, Sabtu (1/12).

Hal ini ditelusuri karena ada hubungan antara Mbah Wahab dan Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Di mana salah satu ponakan Kiai Dahlan pernah memiliki hubungan asmara dengan Mbah Wahab. 

“Tetapi Kiai Wahab tidak menikahi gadis tersebut,” tuturnya.

Bahkan, lanjutnya setelah Pesantren Tambakberas sudah maju dan Kiai Wahab sudah menikah, gadis tersebut menyempatkan diri untuk berkunjung ke pesantren tersebut dan saat itu ia belum menikah.
 
“Di sana saya ditunjukkan foto gadis tersebut saat berkunjung ke Pesantren Tambakberas,” kisahnya. 

Ia menuturkan pula bahwa berdirinya Pesantren di Jombang itu juga akibat dari kekalahan atau tertangkapnya Pangeran Diponegoro. Menutut Peter Carey, sebagian murid-muridnya menyebar ke timur, ke Jombang juga ke Kediri. "Saya kira kajian-kajian seperti ini cukup menarik dan perlu dikembangkan untuk merangsang pemikiran kita," tutupnya. (Nuri Farikhatin/Muiz)
Share:

Alasan Muhammad Menggembala Kambing


Pada saat usianya delapan tahun, Muhammad menyampaikan keinginannya untuk menggembala kambing kepada pamannya, Abu Thalib. Sang paman kaget mendengar hal itu. Ia berusaha mencegahnya, namun gagal. Begitu pula dengan sang bibi, Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib. Keduanya sebetulnya tidak tega kalau keponakannya yang masih kecil itu harus kerja menggembala kambing. Akan tetapi tekad Muhammad begitu bulat sehingga tidak bisa dihentikan.

Mau tidak mau akhirnya Abu Thalib menuruti keinginan Muhammad. Bahkan, ia mencarikan ‘bos’ bagi Muhammad. Abu Thalib menghubungi kenalannya orang Quraisy yang kaya dan memiliki banyak kambing, untuk digembala Muhammad. 

Sang bibi Fatimah binti Asad juga sama. Ia selalu mengantar Muhammad hingga ke mulut pintu ketika keponakannya itu hendak berangkat menggembala. Tidak hanya itu, Fatimah juga selalu menyiapkan bekal makanan untuk Muhammad. Selama Muhammad menggembala, Fatimah selalu gelisah. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi kepada keponakan terkasihnya. Oleh karenanya, Fatimah selalu menanyakan banyak hal kepada Muhammad.  Tidak lain untuk memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja. 

Lantas apa yang membuat Muhammad memutuskan untuk menggembala kambing? Mengapa tidak melakukan hal yang lainnya misal berdagang atau jualan? Dan di usia  yang masih belia seperti itu, bukan kah anak-anak biasanya sibuk bermain ke sana kemari?  

Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), setidaknya ada tiga alasan mengapa Muhammad akhirnya memutuskan untuk bekerja menggembala kambing. 

Pertama, membantu meringankan beban keuangan pamannya, Abu Thalib. Setelah ibunya, Aminah, wafat, Muhammad hidup di rumah kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian ketika Abdul Muthalib juga wafat, Muhammad akhirnya hidup bersama Abu Thalib. Pada saat awal-awal tinggal bersama Abu Thalib, Muhammad biasa-biasa saja. Ia bermain dan makan bersama dengan anak-anak Abu Thalib. 

Namun lama kelamaan, Muhammad mulai sadar bahwa kondisi ekonomi pamannya memprihatinkan. Ditambah pamannya juga memiliki anak yang banyak. Hal itu lah yang menggerakkan Muhammad untuk berbuat sesuatu. Bekerja apapun itu, yang penting bisa menghasilkan uang untuk sekedar membantu ekonomi keluarga pamannya. Mungkin ini yang menjadi alasan utama Muhammad menggembala kambing. 

Kedua, menggembala kambing tidak butuh modal. Boleh dikata kalau Muhammad sudah berpikir secara mendalam untuk mengambil profesi sebagai penggembala kambing. Profesi itu adalah tepat dan pas bagi dirinya yang usianya masih belia dan tidak memiliki modal. Muhammad sadar bahwa pada saat itu semua pekerjaan sudah dikerjakan budak, kecuali berdagang. Namun untuk berdagang harus memiliki modal, sementara Muhammad tidak memiliki itu. Sementara ia ingin sekali membantu meringankan beban pamannya.

Akhirnya ia menemukan satu pekerjaan yang pas untuk dirinya dan tidak memerlukan modal, yaitu menggembala kambing. Tidak lain, itu semata-mata dilakukan untuk membantu meringankan beban ekonomi pamannya, Abu Thalib. 

Ketiga, Muhammad suka berada di padang terbuka yang luas. Muhammad sangat senang dengan padang terbuka yang luas. Di sana, ia bisa merenungkan alam dengan segala keindahan dan kebesarannya. Di padang terbuka pula Muhammad bebas merenungkan segala sesuatu secara mendalam tanpa ada yang mengganggunya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menggembala kambing di padang terbuka yang luas di wilayah Makkah.

Muhammad menjadi penggembala kambing kurang lebih selama empat tahun. Ketika usianya 12 tahun, Muhammad tidak lagi menjadi penggembala kambing karena alasan tertentu pula. (A Muchlishon Rochmat)

Share:

Sembilan Tahap Perubahan Nafsu Manusia


Jakarta, NU Online
Pakar Tasawuf KH M. Luqman Hakim menjelaskan sembilan transformasi atau perubahan nafsu pada diri manusia. Urutan tahap perubahan nafsu dimulai dari ‘Ammarah, Lawwamah, Mulhamah, Muthma’innah, Radhiyah, Mardhiyyah, ‘Arifah, Kamilah, Kehambaan dan Ketuhanan.

Berikut tahap perubahan nafsu manusia yang dikutip NU Online, Rabu (5/12) lewat twitter Kiai Luqman:

Pertama, ‘Ammarah: Nafsu akan cenderung buruk, kecuali jika dirahmati oleh Tuhan, Ammarah nafsu instruktif pada keburukan. Ammaroh mengalami transformasi menuju kesadaran akan kesalahannya, dan itu disebut Lawwamah (yang menyesal keburukan), manakala dilimpahi Rahmat-Nya.

Kedua, Lawwamah: Menyesali perbuatan dosa itu awal taubat. Tetapi bila tidak meraih RahmatNya di posisi ini, nafsu hanya romantis, puas dengan penyesalan belaka, tidak bangkit ibadah. Karena itu harus dibersihkan melalui Rahmat-Nya, agar menuju Mulhamah (yang diilhami).

Ketiga, Mulhamah: Aktivasi RahmatNya membuat nafsu mulai bersih, mampu membedakan haq dan bathil, matahati (bashirah) mulai terbuka, mulailah proses Musyahadah (menyaksikan Allah dg matahati). Lalu ia terkendali dan tenang (Muthaminnah).

Keempat, Muthma'innah: Ketentraman dan ketenangan nafsu, karena Rahmat-Nya dan tazkiyah kita ketika di stadium Mulhamah. Ketentraman jiwa, bukanlah akhir perjalanan diri. Ia harus tranformatif "kembali kepada Allah dalam segala hal". Jangan terjebak dengan rasa tenteram.

Kelima, Radhiyah: Rahmat-Nya yang menggerakkan tazkiyah atas Muthaminnah kita, membangkitkan semangat mencari RidhoNya (Rodhiyah). Tetapi anda sulit menuju RidhoNya jika tidak ruju' (kembali dan menuju) pada Allah.

Keenam, Mardhiyyah: Rahmat-Nya terus membersihkan dirimu, agar tidak puas dg gerakan diri mencari RidhoNya. Hingga anda merasakan posisi dalam Ridho-Nya (Mardhiyyah). Di sana nafsu menjadi ikon Ridho-Nya. Bahwa anda meraih Ridho itu akibat Ridho-Nya yang mendahului Ridhomu.

Ketujuh, 'Arifah: Nafsu berhasrat untuk Ma'rifatullah, setelah proses tazkiyah diwilayah Rodhiyah. Di wilayah kema'rifatan godaan luar biasa. Jebakannya semakin rumit. Sejenak anda terpesona indahnya ma'rifat, anda sudah terlempar dari sana. Maka harus ada Rahmat-Nya.

Kedelapan, Kamilah: Pasca Ma'rifat adalah keparipurnaan. Kema'rifatan harus terus ditazkiyah melalui Rahmat-Nya, agar meraih transformasi menuju Kamilah. Jngan bangga dengan kema'rifatanmu, jangan tercengang, karena nafsu harus turun ke alam semesta meraih kesempurnaan.

Kesembilan, Kehambaan dan Ketuhanan: Keparipurnaan (Kamilah) pun harus transformatif, untuk mewujudkan diri sebagai hamba Allah yang benar, dan menegakkan Hak-hak Ketuhanan-Nya. Semua akan anda raih melalui Rahmat-Nya. Bukan hasrat dan ambisimu. Dengan cara-Nya, bukan caramu.

Selebihnya, menurut Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor itu, transformasi tersebut harus amalkan, wujudkan, dan terus belajar. Jangan sampai terjebak tipudaya nafsu yang selalu mencari kepuasaan dan kepetualangan.

“Jujurlah anda hari ini sedang gersang, kering kerontang, carilah oase ruhani di dunia Sufi. Bersama-Nya menuju kepada-Nya,” tandas penulis buku Jalan Ma’rifat ini. (Fathoni)
Share:

Jumat, 05 Januari 2018

Mengenang Sosok BUJANG RAMLI, Sosok Ikhlas Pelayan Umat

* Perjalanan Khidmat Sejak 1934 – 2013.
IMAM BUJAN RAMLI sosok ikhlas pelayan umat teluk melano 1934 2013
Imam Bujang Ramli memimpin do`a saat Tahun 1980
16 Juli 2013, tepatnya Ramadan di kalander Hijriah. Umat Islam Kayong Utara dan di penjuru dunia sedang melakukan ibadah puasa, tiba-tiba saja subuh hari seorang sosok panutan yang berada di Kayong Utara dipanggil Allah SWT.IMAM BUJAN RAMLI sosok ikhlas pelayan umat teluk melano 1934 2013 ok
Sosok yang teduh dan pendiam itu bernama Bujang Ramli, orang-orang biasa memanggilnya Pak Imam atau Tok imam, atau sebagian juga ada yang memanggilnya Tok Imam Ujang Bukuk. Pada hari itu banyak orang yang merasa sangat kehilangan dengan magkatnya sosok kharismatik yang sudah melekat pada jiwa masyarakat Kayong Utara, khususnya Simpang Hilir.
Foto-pemakaman bujang ramli tahun 2013 0004Pemakaman Imam Bujang Ramli 2013  di Teluk Melano 
Mengutip dari sumber keluarga besar Imam Bujang Ramli, kami sajikan sebagian kecil keteladanan beliau. Allahu yarham (semoga rahmat Allah selalu terlimpah kepada beliau).
Bujang Ramli lahir di Teluk Melano pada 1 Juli 1934 dari pasangan Serah dan Ucut, begitulah nama orangtua dahulu. Ia terlahir dari trah masyarakat biasa, namun kelak di kemudian hari menjadi tokoh yang kaya akan ketauladanan. Barokallah.pemakaman bujang ramli tahun 2013 d
Pemakaman Imam Bujang Ramli 2013  di Teluk Melano 
Sebelum diangkat menjadi tokoh agama oleh masyarakat setempat, Bujang Ramli saat masih muda dahulu sempat melanglang buana dan bekerja serabutan untuk menopang ekonomi keluarga. Terakhir bekerja sebagai nelayan, setelah itu ia di angkat menjadi kepala kampung di Teluk Melano Hilir.
Walaupun secara akademik ia hanya tamatan SR (Sekolah Rakyat), namun administrasinya sangat rapi.
Waktu berjalan, Bujang Ramli rupanya lebih tertarik dengan belajar ilmu agama. Ia kemudian berguru dengan tokoh agama yang terkenal pada masa itu di Simpang Hilir, tepatnya di Desa Pemangkat, Kecamatan Simpang Hilir.pemakaman bujang ramli tahun 2013
Pemakaman Imam Bujang Ramli 2013  di Teluk Melano 
Mukti Majeman atau orang orang biasa memanggilnya Tok Long, adalah tokoh agama yang berpengaruh pada masa itu, menjadi guru Bujang Ramli. Tahun 1975an, Bujang Ramli diangkat menjadi imam.
Semenjak itu Bujang Ramli lebih dikenal dengan panggilan Pak Imam atau Tok Imam. Tugasnya melayani umat dan masyarakat yang memerlukannya, baik perkara suka (seperti hajatan pernikahan, akikahan, atau acara lain) aan perkara duka (seperti mengurus orang meninggal adalah tugas pokoknya). Semua tugas itu dijalani Pak Imam dengan ikhlas tanpa keluh kesah ataupun pilih kasih.
Kemana-mana Pak Imam selalu memakai sepeda, baik jarak jauh maupun dekat. Saat Jumat, Pak Imam hampir tidak pernah absen. Dua jam sebelum Jumatan, Pak Imam sudah beriktikaf di masjid. Dengan suaranya yang parau, Imam Bujang Ramli mengisi khotbah jumat bagaikan mengikuti gerak dan kata hatinya, sehingga begitu membekas di sanubari para jamaah.
kesahajaan imam bujang ramli semasa hidupnya 1934-2013kesahajaan imam bujang ramli semasa hidupnya 1934-2013kesahajaan imam bujang ramli semasa hidupnya 1934-2013
Banyak hal-hal menarik dari sosok yang satu ini. Ia adalah sosok pekerja keras dan jujur yang tidak mau mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma. Berkali-kali Imam Bujang Ramli akan dinaikan haji, baik oleh pemerintah maupun perseorangan, namun tidak pernah mau. Sebab Pak Imam merasa tidak pernah bekerja untuk mendapatkan title haji itu.
Suatu saat pernah Pak Imam menerima tawaran naik haji oleh orang lain, namun ia memiliki syarat yakni bekerja dengan orang yang menghajikannya itu. Tentulah orang yang menawarinya naik haji itu tidak akan mau menerima syarat dari Imam Bujang Ramli. Sebab orang tersebut tak lain tak bukan adalah muridnya sendiri, dan tentu sebagai murid harus tunduk dan tawadhu’ terhadap gurunya.
Dalam prinsip hidupnya, Imam Bujang Ramli tidak mau makan gaji. Ia lebih senang berwirausaha membanting tulang mengucurkan keringat. Maka jalan bertani dan berkebun adalah pekerjaan utamanya. Dalam mengabdi pada masyarakat, Imam Bujang Ramli tidak pernah memandang pangkat maupun derajat, bahkan orang yang pernah memusuhinyapun didatanginya. Subhanallah.
kesahajaan imam bujang ramli semasa hidupnya 1934-2013
kesahajaan imam bujang ramli semasa hidupnya 1934-2013
Begitu juga dalam menuntut ilmu, meskpun usianya sudah tidak lagi muda, namun Pak Imam masih rajin memperdalam ilmu agama. Uniknya, Pak Imam berguru tidak sungkan-sungkan sekalipun dengan orang yang lebih muda darinya. Namun Pak Imam tidaklah merasa gengsi, sebab menuntut ilmu bukanlah memandang siapa tua dan siapa muda.
Dalam keadaan apapun, Pak Imam tidak pernah mengeluh. Sekalipun sakit lambung yang menderanya sudah sedemikian parah namun tetap tegar dan menjalankan aktifitasnya sehari-hari seperti biasa.
Memasuki tahun 2006, Pak Imam tak lagi mengayuh sepeda sebab hasil operasi lambung membuatnya tidak diperbolehkan lagi mengendarai sepeda.
Yang pasti banyak ketauladanan yang dapat kita ambil dari sosok Imam Bujang Ramli, bagaimana tentang nama besarnya yang masih dikenang orang hingga kini, tak lantas membuatnya hilang begitu saja.
Ia adalah tokoh yang sangat disegani sekaligus disenangi. Sebab semasa hidupnya ia memiliki kepedulian yang sangat tinggi dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Sosoknya yang tenang dan ikhlas, membuat para murid dan masyarakat sulit melupakannya. Hingga ketika Pak Imam meninggal, masyarakat Simpang Hilir menjadi galau dan merasa sangat kehilangan. Sebab tak lagi ada pengganti yang sama sepertinya. Rasa rasanya sulit mengikuti takaran ikhlas yang dimiliki Imam Bujang Ramli. (MIFTAHUL HUDA)
Share:

Pesona Hadrah Nurul Ibad Teluk Melano Kayong Utara

Berkarya menghidupkan Tradisi, mengharap Berkah dan syafa`at
(Motto grup hadrah Al Ibad)

Luar biasa, hanya dalam waktu kurang lebih satu bulan setelah pengurus ranting Nahdlotul Ulama (NU) Desa Teluk Melano menerima mandat, kini mereka telah melakukan terobosan dengan menghidupkan kembali seni hadrah yang saat ini mulai ditinggalkan penggemarnya.
Ketua Ranting NU Desa Teluk Melano, Asbun yang juga pemimpin hadrah menjelaskan sebab penggemar yang banyak ke lain hati dikarenakan seni hadrah kebanyakan monoton, sehingga dari dulu itu saja modelnya. Maka dari itu grup hadrah yang baru terbentuk ini walaupun dengan peralatan sederhana, namun dari sisi kualitas akan terus ditingkatan.
Grup hadrah bentukan ranting NU Desa Teluk Melano ini bernama Nurul Ibad, nama ini diambil dari nama surau di Desa Teluk Melano Hilir, yang mana surau ini dari sisi keremajaan dan kegiatan keagamaan yang lain juga sangat aktif.  Pertama kali grup ini tampil, saat acara Maulid Nabi Muhammad SAW pada 3 Januari 2015.
Tak di sangka saat tampil perdana, grup hadrah yang beranggotakan lebih dari 16 orang ini cukup memukau para jama`ah. Pukulan tar dan gendang yang berirama ditambah lagi dengan alunan suara merdu serta sambutan sholawat dari anggota yang tak kalah memukau cukup untuk menyihir para jamaah yang ada pada waktu itu.
Salah seorang jamaah yang tertarik dengan permainan hadrah grup Al Ibad ini, setelah acara langsung saja melamar untuk mengisi di acara pernikahan anaknya. Malam itu juga salah seorang jamaah yang datang dari jauh yang juga tertarik dengan grup hadrah itu langsung memboking juga untuk acara Aqiqahan anaknya.
Jamaah itu adalah Ika, warga trans Rantau Panjang. Ia mengaku sangat senang mendengar lantunan Sholawat yang dibawakan grup hadrah ini. “Rasa-rasanya tak kalah dengan Habib Syeikh saat show,” ungkap Ika.
Pembentukan grup hadrah ini tidak terlepas dari kekompakan jamaah dan support para ustadz serta tokoh agama yang berada di surau Al Ibad. Salah satu yang sangat mendukung kegiatan itu adalah ustadz Jailani, sebagai orang yang dituakan merasa sangat bangga bisa melihat kereativitas baik tua maupun muda bahu-membahu dalam menghidupkan seni budaya hadrah ini.
Menurutnya dengan seni hadrah ini selain dapat memperkuat tali silaturahmi, namun juga dapat menghidupkan tradisi Sholawatan supaya lebih memasyarakat. (LTNU)
Share:

Blog Archive

Definition List

Unordered List

Support

intro ads